Putusan MK Agar Jaksa Agung Bukan Dari Partai Politik, Ternyata Pengacara Banua Ikut Andil


Pengacara Banua yang ikut berperan dalam putusan MK

Jakarta – Pengurus Partai e (parpol) di larang menjabat Jaksa Agung RI berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini disampaikan MK dalam putusannya terkait gugatan Undang-Undang Kejaksaan. Putusan ini tetuang dalam nomor 6/PUU-XXII/2024. UU Kejaksaan ini digugat oleh Jovi Andrea Bachtiar, S.H. selaku Pemohon dalam perkara ini yang juga berprofesi Jaksa pada Kejaksaan Negeri Tapanuli Selatan di dampingi Pengacara asal Kalimantan Selatan saat di gedung MK, Kamis (29/02/24).

Mahkamah Konstitusi dalam Amar Putusan menyatakan bahwa Pasal 20 UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘Untuk dapat diangkat menjadi jaksa agung harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 huruf a sampai dengan huruf f termasuk syarat bukan merupakan pengurus partai politik, kecuali telah berhenti sebagai pengurus partai politik sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebelum diangkat sebagai jaksa agung’, kata ketua majelis hakim MK Suhartoyo.

Dalam putusan ini terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Konstitusi Arsul Sani. Serta terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari 2 (dua) orang Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Anwar Usman serta Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh.

Pada alasan berbeda, Arsul Sani memaparkan perbedaan pengurus dan anggota parpol. Menurutnya, hal ini diperlukan agar meminimalkan pemahaman yang berbeda terkait amar putusan.

“Untuk menghindari atau meminimalisir pemahaman atau tafsir yang berbeda terhadap pertimbangan hukum dan amar
Putusan a quo, saya berkeyakinan, yang dimaksud dengan pengurus parpol adalah orang atau kumpulan orang yang berada dalam rumpun fungsi, tugas dan kewenangan kepengurusan atau eksekutif parpol yang mencakup setidaknya perencanaan (planning), pelaksanaan (executing), dan evaluasi (evaluating) program kerja yang luas, serta menjadi representasi parpol baik ke dalam maupun ke luar internal parpol. Tidak termasuk dalam cakupan pengertian pengurus adalah mereka yang tidak berada dalam fungsi, tugas dan kewenangan demikian, seperti yang dikenal dengan penamaan berbagai dewan dan mahkamah atau istilah lainnya yang dapat ditemukan dalam struktur organisasi parpol,” ujar Arsul Sani.

Sementara hakim Anwar Usman dan Hakim Daniel Yusmic P Foekh menilai permohonan tersebut seharusnya ditolak. Sebab, menurutnya, UU Kejaksaan telah menjamin kekuasaan di bidang penuntutan secara independen. Oleh karena itu, orang yang diangkat sebagai Jaksa Agung tidak hanya mundur sebagai pengurus, tapi juga dari keanggotaan partai.

“Bukankah UU Kejaksaan telah menjamin kekuasaan negara di bidang penuntutan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani dan dilaksanakan secara merdeka, sehingga dalam pelaksanaan penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun? Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya manakala seorang diangkat oleh Presiden menjadi Jaksa Agung seharusnya yang bersangkutan tidak saja mundur sebagai pengurus partai tetapi juga mundur dari keanggotaan partai politik,” tuturnya.

Mengadili

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.

2. Menyatakan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6755) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a sampai dengan huruf f termasuk syarat bukan merupakan pengurus partai politik kecuali telah berhenti sebagai pengurus partai politik sekurang- kurangnya 5 (lima) tahun sebelum diangkat sebagai Jaksa Agung”.

3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Nawaz Syarif, S.H seorang Advokat Muda asal Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan selaku ketua tim kuasa hukum pemohon dari Jovi juga menyampaikan bahwa “Sangat bersyukur Alhamdulillah perjuangan ini akhirnya dikabulkan juga, keinginan kuat pemohon dan niat tulusnya terbayarkan setelah 3 tahun perjuangan. semoga putusan ini membawa hasil yang baik terutama pada penegakan hukum di Indonesia kedepan yang jauh seharusnya jauh dari campur tangan politik sehingga rasa keadilan dimasyarakat dapat benar benar dirasakan.”

Buce Abraham Beruat S.Sos., S.H., M.H. yang juga Advokat Asal Banjarmasin yang tergabung dalam kuasa pemohon menambahkan ” Ini merupakan bentuk pengabdian dan kontribusi terhadap bangsa dan negara melalui perbaikan hukum secara progresif, dan dengan putusan ini maka secara tidak langsung menjunjung prinsip trias politica untuk menjaga Netralitas seorang Jaksa Agung agar terjaga dari intervensi politik dan tetap menjalankan tugasnya berpedoman kepada negara hukum yang menempatkan hukum itu sendiri sebagai panglima nya.” tuturnya.

Jovi Andrea Bachtiar, S.H. selaku jaksa pada Kejari Tapanuli Selatan dan juga pemohon menambahkan dengan di kabulkan gugatan ini kami selaku jaksa tidak lagi terbebani dengan adanya intervensi dari partai politik, karena kami dari kejaksaan merupakan pilar utama penegakan hukum di Indonesia, ini merupakan salah satu kecintaan saya kepada institusi dan juga salah satunya permohonan ini diajukan bertujuan untuk mempersempit peluang bagi politikus diangkat menjadi Jaksa Agung.

“Kejaksaan merupakan pilar utama penegakan hukum di Indonesia, ini merupakan salah satu kecintaan saya kepada institusi dan juga salah satunya permohonan ini diajukan bertujuan untuk mempersempit peluang bagi politikus diangkat menjadi Jaksa Agung.” Tandasnya.(Agus MR)


Editor